Ini dia satu hal yang well .. sebenarnya hal yang paling kubenci, menunggu. Tapi untuk kesekian kali aku harus menunggu lagi. Seperti biasa, setiap pulang kampus aku harus menunggu Arya, kekasihku. Dia paling membenci dibuat menunggu, tapi dia selalu membuatku menunggu. Saat dia terlambat menjemputku pasti alasannya karena kerjaan atau teman-teman ngajakin hang-out dulu sebentar dan bla-bla-bla .. Aku bisa saja pulang duluan tanpa dia harus menjemputku. Tapi dia paling tidak suka kalau aku tidak menuruti kata-katanya. Mungkin karena cintaku kepadanya, aku mencoba memahaminya saja. Bagiku meski dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama pekerjaannya dan teman-temannya daripada bersamaku, tapi aku tetap bahagia karena aku tahu dia mencintaiku.
Mataku melirik gelisah arloji di pergelangan tangan kananku. Pukul 14.25. Seharusnya Arya sudah tiba disini dari seperempat jam yang lalu. Tapi sama sekali belum ada tanda-tanda pemilik mobil Honda Jazz silver itu menjemputku.
"Virra, kamu belum pulang juga?" tanya Bagas memecah keheningan disekitar.
Aku mengalihkan pandanganku yang sejak tadi mencari-cari Arya yang entah kapan akan datang menjemputku kearah Bagas. Tapi dasarnya aku memang agak cuek sama makhluk yang namanya cowok, maksudku cowok lain selain Arya, jadinya aku hanya membalas pertanyaan Bagas dengan sebuah senyuman dan anggukan kecil dariku. Kalau mau dibilang, aku sebenarnya cukup mengagumi Bagas, teman sekelasku. Wajahnya ganteng, tubuhnya kokoh berotot - kusempat mendengar dari gosip teman-teman cewek sekelas kami kalau dia sering ikut gym atau apalah itu namanya. Bagas memang terkenal paling ganteng dikelas kami tepatnya diseantero kampus fakultas kedokteran tempatku kuliah. Banyak cewek yang menyukainya bukan saja karena wajahnya, tubuhnya, kekayaannya tapi juga karena kepintarannya. Memang sosok yang perfecto!
Entah apa yang sedang diucapkan Bagas barusan, aku sama sekali nggak mendengarnya. "Apa?"
"Ah bukan apa-apa kok .. yaudah kalau kamu masih disini, aku pulang duluan. Bye."
Bibirku seolah berbusa. Bahkan saat itu pun aku masih tidak bisa membalas kata-katanya, setidaknya dengan kata Bye. Aku hanya kembali tersenyum. Apa apa memang sebodoh itukah mencintai Arya sampai-sampai cowok seganteng Bagas yang menyapaku pun tidak kuhiraukan. Padahal kalau cewek lain tentu mereka sudah membalas sapaannya dengan berbagai macam kealayan mereka. Rasanya aku ingin mengutuk diriku sendiri. Tapi apapun itu, bagaimanapun juga tak ada yang mampu mengganti posisi Arya dihatiku.
Lima belas menit kemudian, saat hampir saja aku memutuskan untuk menaiki sebuah taksi kosong, Honda Jazz silver dengan nomor polisi yang kuhafal mati menepi didepan trotoar tempatku berdiri. Pintunya terbuka. Arya berlari kecil mendekatiku dan langsung memelukku erat. "Maaf ya, Bee. Aku telat lagi. Aku..."
Aku menggeleng didalam pelukkannya. "Aku ngerti kok sayang." potongku, sambil melepaskan pelukkannya dan tersenyum memandang raut wajah kekasih yang kucintai selama 2 tahun ini.
Arya tertawa kecil sambil menggenggam tanganku erat dan seperti biasa selalu mendaratkan 1 ciuman dipelipisku. Aku menyukai bagian ini, bagian dimana aku merasa aku benar-benar dicintai.
Aku dan Arya sudah berpacaran semenjak aku berada dibangku kuliah. Arya sebenarnya adalah kakak kelasku dari sekolah dasar sampai sekolah menegah atas, dan kemudian setelah lulus. Arya memilih menggantikan ayahnya yang sedang sakit-sakitan menjadi CEO disebuah perusahan ternama di kota tempat kami tinggal ini. Karena aku tahu perusahannya sekarang ada dalam kondisi yang sulit karena ayahnya sedang jatuh sakit, jadinya aku harus mempunyai hati yang ekstra lebih besar untuk kuat dan memahami kekasihku, dan memberinya support juga. Karena cinta bukan cuma sekedar mencintai tapi bagaimana membuat kita mampu bertahan dalam situasi apapun, membuat kita belajar memahami dan saling mendukung satu sama lain. Haah! Sepertinya pola pikirku semakin bertambah dewasa saja. Tapi aku rasa sekarang ini memang aku harus lebih memahami Arya.
Mobil kami memasuki sebuah kafe, tempat biasa aku dan Arya sering menghabiskan waktu bersama atau sekedar makan saja. "Bee, kita makan dulu ya .. sebelum aku antar kamu pulang. Soalnya aku lapar nih." kata Arya sambil membantuku melepaskan sabuk pengaman yang agak keras dan susah dilepaskan. "Oke sayang, aku juga lapar."
***
Selain menjadi mahasiswi di fakultas kedokteran, aku juga menjadi salah satu primadona balet sebuah yayasan yang didirikan kakek buyutku karena aku sangat menyukai balet. Karena saat aku menari, aku merasa semua impianku sedang menari bersamaku dan salah satu impianku itu adalah bersama Arya kelak hingga kami menjadi tua bersama dan lebur bersama tanah bersama juga. Postur badanku juga tidak segemuk Miss Big Indonesia. Aku mempunyai postur tubuh yang langsing, kecil dan tidak berat itu yang membuat gerakkanku mampu kukontrol sebaik mungkin dan selalu mendapat tropi kemenangan dalam setiap pentas balet, bahkan aku pernah dikirim mewakili Indonesia dalam kontes balet dunia yang dilaksanakan di sebuah Negera besar.
Anyway .. hari ini aku sedang latihan gladiresik untuk pentas besok malam. Aku menjadi penari utamanya. Seusai latihan, aku melirik keseluruh ruangan tempat duduk penonton yang masih kosong. Tak ada batang hidung Arya. Ya sudahlah, mungkin Arya sibuk jadi dia nggak sempat membaca message yang kukirimkan 6x padanya sejak tadi pagi, dan sekarang hari sudah sore tapi belum juga Arya membalas messageku. Aku mencoba membuat hatiku tetap percaya padanya.
Seperti biasa setelah istirahat beberapa waktu lamanya, aku bersama teman-teman yang juga sedang latihan, kami membersihkan diri kami di bathroom gedung tempat kami berlatih sekaligus tempat akan dilaksanakannya pentas balet besok malam.
"Ra ada telpon!" Seru Litha, sahabat dekatku. Dia juga seorang penari balet dan kami berdua adalah patner yang sangat seimbang dan kompak. Meski baru di dunia balet, namun Litha selalu mampu mengikuti gerakanku. Aku juga bersyukur punya sahabat seperti dia, banyak yang sering kami bagikan bersama contohnya tentang kekasih kami masing-masing .. etz tapi tidak dengan hal pribadi atau masalah pribadi, kami berdua benar-benar tahu menghargai privasi kami masing-masing. Aku yang sedang menikmati setiap butiran air dari shower yang kugunakan, melambaikan tangan pada Litha, memberi tanda tidak usah dihiraukan. "Tapi ini dari Arya!" Seru Litha lagi.
Mendengar nama Arya, langsung saja membuat mataku terbelalak dan dengan cepat langsung menyudahi mandiku. "Aduh!" desisku, mengangkat handuk dan menutupi seluruh badanku. Buru-buru aku berlari keluar bathroom yang didalamnya ada beberapa bathroom mini yang dipisahkan dengan kaca yang tak bisa dilihat orang lain dari luarnya. Hampir saja aku tergelincir karena lantainya yang cukup licin saat itu dan membuat beberapa teman baletku kompak memekik.
"It's okay!" ucapku sambil melambai lalu bergegas keluar dan mengangkat Hp-androidku dari tangan Litha yang menggeleng-gelengkan kepalanya melihatku. "Hah, halo .. halo dear!" sapaku antusias sambil terengah-engah.
"Hai Bee, sorry I am late untuk mengabari kamu. Kamu tak apa kan?"
"Yah aku baik-baik saja sayang. Aku ngerti kok kamu sibuk sama pekerjaanmu dikantor."
"Bagaimana dengan latihannya, Bee?"
"Luar biasa!" Aku mendengar tawa Arya dari seberang telepon. "Eh, sayang kamu jadi menjemputku kan?"
Agak lama pertanyaanku dijawab Arya. Terdengar helaan nafas yang panjang. Ah seolah pertanyaanku menjadi beban yang berat dipundaknya. "Kenapa sayang? Kamu gak bisa ya?"
"Aku minta maaf ya sayang. Kayaknya hari ini aku gak bisa jemput kamu. Maksudku bukan kayaknya tapi memang aku gak bisa. Aku ada kerjaan menumpuk hari ini. Maaf ya sayang.." tuturnya pelan. Ada rasa kecewa dihatiku, padahal hari ini aku latihan terakhir dan aku ingin dia melihatku sebentar berlatih balet. Tapi .. well .. I am fine, I should be fine! "Kamu gak apa-apa kan sayang?" pertanyaan Arya memecah lamunanku.
"Iya, nggak apa-apa sayang." jawabku.
"Terima kasih Bee, kamu memang calon istri yang baik. Nggak salah aku memilih kamu. Kamu sangat memahamiku. Terima kasih, I love you."
"I love you too." tut .. tut .. tut -Bunyi telepon diputuskan.
***
Litha seperti memahami kondisi hatiku saat itu. Seperti biasa saat kami berdua sedang pengen mengeluarkan uneg-uneg kami masing-masing, kami selalu mencari kafe yang pemandangannya ada pantai dibelakangnya. Disitu kami bisa duduk meminum teh hijau yang terkenal dikafe itu dan kadang kami berteriak dipantai mengeluarkan apa yang kami rasa disana, so tempat itu sudah seperti tempat yang menampung seluruh isi hati kami.
Saat kami memasuki pelataran kafe, tanpa sengaja sudut mataku menangkap mobil yang tak asing bagiku. Tapi kemudian Litha menarik tanganku dan memasukkanku kedalam kafe. Aku belum sempat melihat orang-orang di kafe itu karena terburu-buru memesan makanan dan minuman. Terdengar oleh kedua telingaku, suara yang tak asing juga bagiku. Aku membalikkan badanku kearah datangnya gelombang suara itu dan ternyata dugaanku benar. Mobil yang tak asing bagiku, suara yang tak asing bagiku, cuma punya 1 pemilik dan itu .. Arya.
Mataku sayup-sayup melihat dia sedang tertawa bersama teman-temannya dan kebanyakkan dari mereka adalah cewek. Bukannya aku cemburu, tapi jika memang alasan yang membuatnya tidak bisa menjemputku adalah hang-out bersama teman-temannya, aku bisa memaklumi itu meskipun kadang aku terluka juga karena aku tak pernah menghabiskan waktu bersamanya, sebanyak dia menghabiskan waktu bersama dunianya dan tak pernah ada aku didalamnya. Tanpa banyak berbicara, aku langsung saja membayar pesananku dan berlari secepat mungkin keluar dari kafe. Litha juga melihat hal yang sama dan mengambil pesanan kami yang sudah dia minta untuk dibungkus saja dan berlari menemuiku diluar kafe. Aku duduk dikursi depan kafe, menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku.
Malamnya aku menunggu telepon masuk dari Arya, setidaknya aku berharap dia menjelaskan kepadaku. Ah tapi sepertinya aku terlalu banyak berharap. Pertama Arya tak melihatku tadi, jadi bagaimana mungkin dia akan mengatakannya kepadaku. Kedua, jarum jam yang sedang merayap pelan menuju tengah malam tapi tak ada dering telepon dari Arya. Hampir jam 12 malam dan itu sebelum nenekku membuka pintu kamar karena melihat lampu tidurku tak dimatikan, lalu menyuruhku untuk tidur karena besok hari yang penting bagiku.
***
Hari ini .. malam ini .. adalah malam yang sangat dinantikan semua orang yang sudah membeli tiket pentas balet. Tamu-tamu mulai berdatangan dan memadati kursi-kursi yang telah disediakan.
"Virra! Hei .. hei .." Litha menyadarkanku dari lamunanku sejak tadi. Dari tatapan matanya, dia sepertinya sudah menangkap sesuatu pada kedua bola mataku, yang kupikir sedang berkaca-kaca menatap lurus kedepan tanpa satu titik yang pasti. "Fokus girl! Jangan terhanyut masalah pribadi kamu. Ingat menarilah sebaik mungkin, sama seperti Virra Anastasia De Costa." Litha menyemangatiku, untuk sesaat aku menahan rembesan airmataku. Aku memeluk erat Litha sesaat sebelum tampil dipanggung.
Terdengar tepuk tangan yang meriah menyambutku saat aku menaiki panggung. Aku melihat sekeliling, mencari-cari sosok yang kuharapkan sekali sedang melihatku saat ini. Ini seperti mencari jarum diantara tumpukan jerami. Nah, ketemu! seruku riang didalam hati. Arya sedang duduk disana dan menatapku sambil melambai-lambaikan tangan dan memberiku ciuman jauh. Ah bahagianya ..
Aku mulai menari mengikuti alunan musik. Tak lama kemudian, tarianku selesai juga dan mendapat tepuk tangan yang lebih meraih dari sebelumnya serta terdengar beberapa siul dan meneriak-neriakan namaku dengan antusiasnya, aku memandang kearah mereka yang kumaksud tadi ternyata adalah hampir sebagian besar teman-teman sekelasku di FK dan satu diantaranya adalah Bagas. Aku tersenyum dan melambai-lambai kearah mereka, kemudian aku mencari ketempat duduk yang tadi diduduki Arya. Tak ada ... What the hell? Bukankah tadi Arya disitu? Apakah aku bermimpi kalau tadi ada Arya disitu? Tidak sepertinya tidak. Setelah acara selesai dan tamu-tamu mulai meninggalkan gedung, aku berlari menuju tempat duduk Arya. Kebetulan saja disana masih ada beberapa pasang ibu dan bapak.
"Permisi, pak .. bu. Boleh bertanya?" tanyaku sopan
"Ya, ya, tentu saja boleh. Ada apa?" tanya seorang ibu berkaca mata, berbaju merah. Dari penampilannya dia bukan dari kalangan biasa.
"Tadi apakah ada seorang cowok duduk disini?"
Mereka tampak berbicara kecil saling bertanya, "Ya tadi memang ada tapi saat dia menerima telepon, dia langsung saja berjalan keluar ruangan dan sampai selesai belum kembali juga." jawab seorang bapak berkumis.
"Pacarnya ya dek?" tanya seorang bapak setengah baya.
Aku tersenyum. "Terima kasih." Aku berjalan tanpa memandang mereka lagi, yang mungkin sedang melihat langkah kakiku yang seperti berat melangkah."
***
Hari-hari berikutnya ..
Selalu saja seperti itu, selalu saja tak pernah ada saat aku sangat membutuhkannya, selalu saja lebih punya banyak waktu bersama teman-temannya, selalu saja memberikan alasan yang sama kepadaku, selalu saja aku yang harus memahaminya, seolah hanya selalu aku yang berjuang untuk mempertahankan hubungan ini. Dimana kamu Arya? Kamu lebih punya banyak waktu yang kamu selalu habiskan bersama duniamu, sementara aku kamu selalu menjadikan aku nomor kesekian dari duniamu yang saat kamu sudah bosan dengan duniamu, barulah kamu akan menyadari ada aku dan datang kepadaku. Selalu saja aku aku yang mengalah! Sejujurnya aku cemburu. Cemburu kepada mereka yang bisa melihat senyummu kapan saja, yang bisa tertawa bersamamu, menceritakan ini dan itu bersama, apapun selalu kamu dan mereka lakukan bersama. Dalam duniamu sepertinya tak ada aku, aku hanya pilihan lain setelah duniamu. Awalnya aku kira aku akan baik-baik saja dan aku hanya harus terus memahamimu, tapi semakin jauh semakin pula bertambah penat dikepalaku, sesak didadaku. Kamu selalu sibuk dengan pekerjaanmu, dan kesibukkan yang kamu buat-buat sendiri dengan duniamu tanpa pernah kamu menarikku kedalam duniamu. Kapan kamu bisa memahamiku kalau aku membutuhkanmu karena aku mencintaimu?
Lamunanku terhenti saat aku dikagetkan dengan wangi bunga mawar yang tepat berada didepanku.
"Happy Anniversarry Bee." Arya tersenyum lebar menatapku.
Namun hari ini entah kenapa aku tidak seperti biasanya. Aku hanya menatapnya kaku. Tentu saja senyum diwajahnya menghilang. Dia duduk berhadapan denganku, menatapku lekat-lekat. Aku tak kalah menatapnya tajam. Untuk beberapa saat kami berdua saling bertatapan.
"Are you okay, Bee?" tanyanya, saat menyadari ada sesuatu yang tengah aku pikirkan.
Aku mengangguk. "I am okay."
"Are you sure? Aku perhatikan kamu nggak seperti biasanya, Virra."
Aku sempat kaget mendengar Arya barusan saja memanggilku Virra. Aku tersenyum kepadanya. "Aku nggak apa-apa." Aku mencoba meyakinkan Arya.
"Baiklah .. hari ini kita makan dimana dihari spesial kita?"
"Terserah kamu saja.."
***
Sebulan kemudian ..
Masih juga belum ada perubahan dari Arya. Dia sama sekali tak menyadari aku begitu terluka dengan sikapnya. Kini Arya yang kukenal berbeda 360 derajat. Tak lagi ada perhatian, tak lagi ada kata-kata sayangnya, bahkan panggil kesayangannya untukku sudah jarang dia lakukan, tak lagi ada kecupan didahiku atau tak lagi menjemputku. Entah kenapa dia berubah secepat itu .. tapi aku harus tetap percaya padanya meski hatiku agar meragukannya sekarang. Sampai suatu hari, kudapati dia bersama teman-temannya lagi disebuah kafe, sementara dia mengatakan padaku dia sedang menjenguk ayahnya dirumah sakit.
"Bee .. bee .. dengar penjelasanku dulu. Virra!" Teriakannya membuat langkah kakiku berhenti.
Arya menarik lenganku. Matanya menatapku tajam. Aku berusaha melepaskan genggamannya tapi ternyata aku hanya bisa meliuk-liukkan badanku saja. "Jangan childish!" serunya dengan nada keras.
Aku sudah tak sanggup lagi. Kukeluarkan semua uneg-unegku, dan membuat dia hanya terdiam menatapku, sekali-kali menundukkan kepalanya tapi masih terus menggenggam lengan kiriku dengan eratnya. "Kalau dulu aku sangat memahamimu, sekarang aku mulai nggak suka kalau kamu mulai mengacuhkanku. Saat kamu sedang bersama dengan teman-temanmu, kamu tak pernah mengingatku. Bahkan kamu mulai berbohong kepadaku. Kenapa? Seharusnya kamu tak perlu membohongiku jika memang aku adalah nomor sekian didalam hidupmu karena nomor pertama dan terpenting bagimu adalah dunia kamu sendiri tanpa ada aku. Kamu nggak seperti Aryaku yang dulu lagi. Apa aku ini masih berarti bagimu? Aku rasa tidak!"
"Virra, aku nggak bermaksud membohongimu. Aku .."
"Nggak bermaksud bohong? Benarkah? Tidak, kamu nggak bermaksud tapi memang kamu sudah melakukannya. Bukan baru sekali Arya. Sudah berulang kali. Tapi aku nggak pernah mengeluh, aku katakan pada diriku sendiri aku hanya harus lebih memahamimu. Tapi ternyata perjuanganku dan pengorbananku tak pernah dianggap ada. Kamu nggak memahamiku sebaik aku memahamimu."
"Virra!" teriak Arya dengan keras membuat beberapa pasang mata yang berjalan melirik sedikit kearah kami.
"Kamu mengatakan kepadaku jangan childish tapi ternyata kamu sendiri yang menjadi childish. Aku nggak akan ngasih kamu pilihan untuk memilih aku atau duniamu, tapi aku hanya harus menyudahi hubungan ini. Karena aku sadar, jika aku orang terpenting bagimu, kamu tidak akan mengabaikanku dan lebih memilih duniamu, teman-temanmu dan segala yang ada didalam duniamu yang tak pernah kamu mengajakku masuk kedalamnya atau sekedar berbagi denganku sedikit dari duniamu. Kamu lebih mementingkan egomu sendiri daripada perasaanku."
"Baiklah jika itu maumu!"
Arya melepaskan genggamannya dan berjalan meninggalkanku yang kemudian duduk menangis sendiri di trotoar jalan tempat dia berdiri.
***
Sebulan kemudian Arya menghampiriku dikampus
"Virra." sapa Arya yang sejak tadi menungguku diluar kelas.
"Eh, Arya.." Aku tersenyum seperti biasanya seolah nggak ada yang terjadi.
"Aku minta maaf. Waktu itu aku salah dan aku sudah dipenuhi emosiku yang menghancurkan semuanya. Seharusnya aku nggak pernah melepaskanmu begitu saja. Aku ingin kamu kembali kepadaku. Aku nggak bisa melupakanmu."
Aku tersenyum. "Aku sudah maafin kamu kok." Tentu saja Arya tersenyum gembira, "Tapi .. kamu pasti bisa mendapat seseorang yang lebih baik bagimu, yang bisa kamu tarik masuk kedalam duniamu. Mungkin aku bukan orang yang tepat bagimu karena kamu nggak pernah menghargai adanya aku."
Belum sempat Arya menjawab kata-kataku, aku sudah berjalan meninggalkannya dan mendapati Bagas yang sedang menungguku.
"Hei .. sudah lama nunggu ya?" tanyaku
"Nggak juga. Ini nggak seberapa kok dengan selama ini aku sudah menunggumu."
Arya yang berlari mendapatiku, tentu saja berhenti saat melihat Bagas dengan mesranya merangkul pundakku dan memasukkanku kedalam mobil sedan merah miliknya.
Seharusnya aku, seharusnya aku yang melakukan semua ini .. semua perlakuanku yang dulu kepada Virra, kini diambil alih oleh seseorang yang lain dan aku terlambat menyadari betapa dia lebih berarti bagiku daripada duniaku yang sebenarnya hanya menjadi tempat iseng bagiku, batin Arya.
*** *** *** *** *** ***
Dear Boys,
Sebenarnya wanita itu jauh didalam lubuk hatinya sangat memahamimu.
Dia selalu berusaha menjadi yang terbaik bagimu agar kamu tidak pernah menggantinya dengan apapun.
Dia hanya butuh perhatianmu dan cintamu tetap, tidak berubah seiring waktu dalam kondisi apapun.
Jauh didalam lubuk hatinya, dia terus memperjuangkanmu.
Mungkin kamu jarang melihatnya berdoa tapi jauh didalam lubuk hatinya, dia selalu bercerita dengan Tuhannya tentang kamu seorang.
Dia tidak meminta banyak waktumu, hanya waktu tuk berbagi dengannya.
Berbagi duniamu dengannya.
Dengan begitu dia akan merasa berarti, merasa kamu menganggapnya ada.
Jangan sampai kamu akan menyesali perbuatanmu saat ini dengan meninggalkannya.
Jangan sampai terlambat untuk menyesalinya, karena bisa saja saat kamu benar-benar terlambat dia mungkin sudah berada dipelukkan lelaki yang memang menganggapnya ada.
------------------------------------------------------------------------
*cerita ini hanyalah fiktif belaka, cuma karangan penulis dengan menjadikan penulis sebagai tokoh utama, tapi bukan berarti ini adalah kisah nyata.